Site Loader

Kamis, 12 Mei 2022 merupakan hari dimana libur lebaran telah usai dan para guru dan siswa kembali menjalankan aktivitas pembelajaran di sekolah. Mengawali hari pertama masuk sekolah, Kepala SMA Islam Kepanjen mengadakan tradisi Halal Bihalal bersama para siswa. Sebelum itu, siswa terlebih dahulu menjalankan Ibadah rutin Sholat Dhuha di Mushola Hasyim Asy’ari kemudian lanjut apel di lapangan untuk pengarahan dari bapak/ibu guru.

Setelah menerima pengarahan dari Bapak/Ibu guru, siswa – siswi SMA Islam Kepanjen kemudian menghadap ke arah utara dan mulai bersalam – salaman. Proses salam – salaman ini dilakukan setiap baris secara urut dan dengan perlahan. Momen halal bihalal ini merupakan momen dimana kita sebagai manusia menyadari bahwa tidak bisa luput dari dosa. Dosa yang paling sering dilakukan adalah kesalahan terhadap sesamanya, seperti iri hati, permusuhan dan saling menyakiti. Halal bihalal merupakan peristiwa penting untuk kita saling bermaaf-maafan.

Setelah berbaris saling bersalam-salaman dengan bapak/ibu guru, siswa mendapatkan konsumsi untuk dapat dimakan di kelas sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.

Untuk mengingat kembali sejarah dan makna halal bihalal, kami akan berbagi sedikit informasi agar budaya kita tetap lestari. Halal bihalal merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang dilakukan sesudah hari lebaran baik di kalangan instansi pemerintah, perusahaan dan dunia pendidikan. Kegiatan ini tentu saja menjadi tradisi tahunan yang unik dan tetap dipertahankan serta dilestarikan. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling berbagi kasih sayang pasca lebaran.

MAKNA HALAL BIHALAL

Dalam kacamata Islam, halal bihalal bertujuan untuk menghormati sesama manusia dalam bingkai silaturahmi. Halal bihalal dilihat dari sisi silaturahmi dapat menjadi perantara untuk memperluas rezeki dan memperpanjang umur, sebagaimana keterangan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi”.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, halal bihalal berarti acara maaf-maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan dalam bahasa Arab, halal bihalal berasal dari kata “Halla atau Halala” yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain: penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Karena itu, maka arti halal bihalal adalah suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa.

Dalam hukum Islam (Fiqih), kata halal lawan dari haram. Halal adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan. Sedangkan haram adalah suatu tuntutan untuk ditinggalkan atau perbuatan yang melahirkan dosa dan mengakibatkan siksaan. Jadi dengan adanya halal bihalal bagi yang melakukannya akan terbebas dari semua dosa. Dengan demikian, makna halal bihalal ditinjau dari segi hukum adalah menjadikan sikap yang tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Hal tersebut dapat tercapai bila syarat-syarat lain terpenuhi, yaitu syarat taubat, di antaranya menyesali perbuatan, tidak mengulangi lagi, meminta maaf dan jika berkaitan dengan barang maka dikembalikan kecuali mendapat ridha dari pemiliknya.

Kata halal dalam al-Qur’an dapat ditemukan dalam 6 ayat yang terdapat dalam lima surat, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata haram yaitu dalam surat An-Nahl ayat 116 dan surat Yunus ayat 59. Dalam surat An-Nahl ayat 116, artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan haram” untuk mengadakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S:An-Nahl: 116). Selanjutnya dalam surat Yunus ayat 59 juga digandengkan, sebagai berikut : Katakanlah : “terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah “apakah Allah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?”(QS:Yunus: 59).

Sedangkan keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kuluu artinya makanlah dan kata thayyibah artinya yang baik. Hal ini dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah : 168, surat Al-Anfal : 69, surat Al-Maidah: 88 dan surat an-Nahl : 116. Dalam surat Al-Baqarah : 168 artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS:Al-Baqarah: 168).

Dijelaskan juga dalam surat al-Anfal ayat 69, artinya : Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah engkau ambil itu, sebagi makanan yang halal lagi baik, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS:Al-Anfaal: 69). Surat Al-Maidah ayat 88, artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS:Al-Maidah: 88).

Terakhir dalam surat An-Nahl ayat 166 artinya : Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah. (QS:An-Nahl: 116).

SEJARAH HALAL BIHALAL

Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08 April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.

Sumber lainnya adalah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi. Tujuannya adalah agar lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa.

Kemudian, Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah kegiatan halal bihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan silaturahmi secara nasional. Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi halal bihalal dan tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja dan umat beragama.

Post Author: Jurnalistik

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Buka Chat
Butuh Bantuan?
Assalamualaikum 👋
Ada yang bisa kami bantu?